cerpen "roda nafas ini"



RODA NAFAS INI
Malam masih merangkul matahari, embun masih segan untuk menetes di dedaunan itu. Semilir angin berhembus syahdu seperti nada indah di alunan semu. Seperti aku si jabang bayi yang masih mengucap janji kepada Allah. Saat sebelum ku hadir di dunia, dunia yang kaya akan misteri dunia yang penuh kehidupan yang menakutkan, tak tahu kapan janji itu terucap, dan mengapa terucap? Karena itu adalah garis hidup yang harus terlewati kesepakatan untuk hidupku, dan itu semua untuk aku yang telah dipercaya hidup di dunia ini, untuk memberikan warna terindah, dan menjadi cahaya kegelapan, hingga Allah mengijinkan aku untuk hadir dalam kehidupan dunia, dan merangkai asa seperti janjiku itu. Dan terlahir aku dilengkapi senyuman matahari yang baru saja bangun dari tidurnya, dan itulah hadiah terindah untukku, senyuman hangat. Tak hanya itu sambutan hangat senyum keluargaku, terutama ibuku yang tersenyum dengan tetes air mata kebahagiaan. Dan saat itulah tumbuh harap dan keyakinan untuk hidup yang akan kulakukan penuh dengan kebahagiaan karena berawal dari kesucian.
Waktu pun terus berputar hari kini telah berganti hari tahun pun ikut meninggalkan masa itu, aku kini sudah gadis aku biasa di panggil Rhisa, kini kulewati proses hidup yang dimana aku harus sudah menata untuk maju meraih cita, merajut asa seperti dulu aku berjanji kepadaNya. Bahwa aku siap melewati hidup seperti yang aku janjikan padaNya. Dimana pun aku dilahirkan dikeluarga apapun itu tapi aku selalu yakin “Ini adalah cara Allah untuk berikan kebahagiaan terindah” dan aku dalam takbirku, aku dilahirkan dalam keluarga yang penuh cerita, mulai dari latar belakang otangtuaku, mereka bukanlah orangtua yang tinggal duduk manis bak sang raja duduk di singgasananya. Kebahagiaan saat aku dilahirkan itu semua seperti tak terasa lagi, hanyutlah sudah semua kenangan itu. Bahkan kenangan itu tak hanya hanyut tapi telah hilang dan tak membekas lagi. Apalagi saat terlahir anak kedua dari rahim ibu kini aku bukanlah jadi apa-apa lagi. Sekarang, kini rasa sayang itu tergantikan dengannya, kini hanyalah tinggal harapan yang terbaik, dari terciptanya kata “Bahwa aku anak pembawa sial, anak yang tak membawa keberuntungan”. Tetapi dia adikku Rio, mereka selalu menganggapnya pembawa keberuntungan di dunia ini terutama di keluargaku.
Sungguh aku tak mengerti semua ini, setiap kali terdengar kupingku, mereka selalu membandingkanku dengan pitungan-pitungan Jawa yang tak kumengerti. Seperti Rio lah yang unggul dalam segalanya, tapi seharusnya bukan berarti aku sudah tak dianggap lagi sebagai anak. Padahal aku selalu berharap dalam lubuk hatiku terdalam, aku bisa menjadi permata yang bisa slalu bersinar walaupun dalam kubangan lumpur sekalipun. Dan saat itu aku selalu berkata kepada hatiku “Kalau hidup ini tak adil, hidup ini pilih kasih, bukankah aku hamba Allah yang spesial karena ku telah diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini”. Tapi waktu terus berjalan meninggalkan masalalu hingga aku benar Dewasa, kini aku bisa berfikir lebih positif, kini aku semakin yakin bahwa Allah benar-benar sayang kepadaku, Allah menghadirkan aku dalam keluarga penuh cerita, karena Allah percaya bahwa aku bisa memberikan warna terindah, menjadi cahaya, pengisi kekosongan dan tak sempurnanya hidup.
Manis, pahit hidup telah menjadi bagian ceritaku, bagian dalam realita nafasku, senyum, tangis juga ikut temaniku dalam hidup ini, dalam setiap langkahku. Aku selalu mewarnai hidupku dengan semangat, semangat untuk meraih sebuah cita. Semangat untuk mencari celah bahagia diatas jalan berduri, aku terus bermimpi, terus merajut asa, bahkan semua telah tergambar didalam ruang imajinasiku.
Dalam setiap hariku, aku selalu berharap mimpiku bisa menjadi realita yang indah. Tapi pada kenyataannya untuk meraih itu semua sungguh penuh dengan perjuangan berkeringat, dan harus melewati jembatan bergelombang, jalan berduri bahkan petir yang segan menyambar dalam setiap lenga hidunpku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS TROTOAR

Analisis Penyimpangan Bahasa pada Puisi

Analisis Penyimpangan Bahasa dalam Puisi “Sajak Rumah dan Sesuatu yang hampa, Sesuatu yang diam, Tersisa” Karya sastra pada das...