cerpen "lembar kisah mak Tinah"



LEMBAR KISAH MAK TINAH
Dipagi yang mendung ini kepulan asap itu keluar dari celah-celah tembok mak Tinah, dirumah reyot itu ia mengadu nasib dengan sangat sederhana, bersama suaminya yang kini tak lagi bisa menjadi kepala rumah tangga karena sakit yang dideritanya, ia mengalami kelumpuhan, itu pun sudah berlalu 6 tahun. Ia mempunyai dua orang anak dan satu cucu. Dalam detik waktunya ia menghabiskan untuk mencari blarak (daun kelapa yang sudah kering), blarak itu ia cari di pinggiran sawah dan hutan belakang kampung kecil itu, blarak itu Mak Tinah jual kepada Haji Basori, orang yang punya usaha kue kering, itu pun berada di kampung sebelah. Tak lelah kaki menopang berat beban Mak Tinah, dan tiap hari ia harus melakukan pekerjaan ini, dan anak pertama Mak Tinah berjualan pisang goreng keliling kampung untuk menambah penghasilan untuk menyambung nafas. Sudahlah menjadi hal biasa bagi keluarga mereka untuk meratapi nasib yang seakan tidak berpihak baik kepada mereka, puluhan tahun waktu menemani hidup Mak Tinah tapi sangat malang ia tak pernah merasakan hidup yang menanjak bahagia, tapi meski begitu ia tak pernah sedikitpun mengeluh tentang hidupnya. Mak Tinah sangat bahagia meskipun ia hidup pas-pasan seperti itu, apalagi ia sudah memiliki satu cucu namanya Teo, dengan hadirnya Teo dikeluarga menambah keramaian dan kebahagiaan tersendiri, dan Mak Tina sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah karena masih diberi kesempatan hidup untuk melihat anak dan cucunya tumbuh Dewasa. Di tengah kebahagiaan, kesederhanaan hidup Mak Tinah, ada saja yang masih tega menyakiti hati perempuan itu, tetapi dengan ketabahannya ia selalu ikhlas menghadapinya, tak lain yang menyakiti Mak Tinah adalah Rani putri keduanya, ia sama sekali membenci kehidupan susah keluarganya. Tak jarang ia berkata kasar terhadap maknya dan kakaknya itu. Bahkan satu ucapan yang mungkin masih terngiang di benak Mak Tinah akan kelakuan kasar anak gadisnya itu. “Haduh emak, tiap hari makan nasi garam terus. Dasar emak gak berguna! Nyesel jadi anakmu mak, punya emak kampungan, gak punya duit, hidup susah....oh susah jadi kebiasaan emak sialan!!” perkataan itu sangat menghancurkan perasaan Mak Tinah, bahkan sempat kakaknya tak segan menamparnya namun dihadang emak, memang sungguh mulia hati Mak Tinah penuh dengan ketabahan hati. Meski ia sering diperlakukan kasar oleh anak kandungnya sendiri, ia tidak pernah memarahi anak gadisnya itu, malah Mak Tinah selalu menyalahkan dirinya sendiri, karena ia tak pernah memberi kebahagiaan terhadap anak-anaknya. Ia selalu menangis dalam sujud di tiap malamnya, selalu ia curahkan kepada sang pencipta, do’a-do’a kebahagiaan untuk anak cucunya.
Disisa umurnya ini Mak Tinah sudah tak sanggup lagi untuk menghidupi keluarganya itu dengan susah payah, bahkan disisa semangatnya ini Mak Tinah hanya bisa bekerja seadanya tenaga yang tersisa. Memang sangat durhaka anak gadisnya itu, tapi mak Tinah dengan ketabahan hati tak pernah membencinya, bahkan mak Tinah seperti tidak memasukkan dalam hatinya, sungguh mulia hati emak ini. Emak Tinah pun masih mengijinkan anak gadisnya ini untuk tinggal bersamanya dam menikmati tiap suap nasi hasil perasan keringat renta mak Tinah.
Kebahagiaan mereka sempat terhenti karena bendera kuning yang berkibar di depan rumah mereka, semua senyum dan tawa sirna sudah, karena meninggalnya suami mak Tinah tercinta, Bapak meninggal karena sudah sakit lebih dari 6 tahun lamanya. Sungguh ini ujian berat untuk emak, emak harus kehilangan kekasih hatinya untuk selamanya, harus kehilangan laki-laki yang setia menyayangi dan bersedia hidup dalam seribu duka yang tercipta, tapi bagi emak Bapak adalah kebahagiaan, kesempurnaan hidup meski lebih dari 6 tahun terkahir ini Bapak hanya bisa memandang emak dari jauh dan tak bisa memberi nafkah untuk keluarga. Bapak hanya bisa terkulai lemas di dipan bambu warisan dari orangtuanya dulu. Detik ini adalah akhir dari segalanya, kebahagiaan mereka berkurang satu, tapi emak harus tetap tabah menerima semua takdir ini, emak masih punya 2 anak dan satu cucu yang sangat ia sayangi.
Berganti hari, berganti bulan, berganti tahun, tapi tak berganti hidup mereka susah...oh...susah, tak ada peningkatan dalam hidup mereka, bahkan anak gadis mak Tinah juga tak ingin menyumbangkan keringatnya untuk menyambung nafas, ia hanya diam dirumah,tak bingung bisa makan atau tidak, tau-tau hanya memaki emaknya.
Sisa-sisa detik dalam hidup semakin terasa di pacuan jantung mak Tinah, kini mak Tinah yang tua renta dan wanita mulia karna ketabahannya, meninggal dunia dlam sujud terakhirnya. Sunggug malang nasib mak Tinah tapi ia tak pernah mengeluhkannya dan slalu mensyukurinya, emak pergi meninggalkan tangisan untuk anak-anaknya apalagi untuk anak gadisnya itu. Riani baru menyesali semua cacian yang pernah ia lontarkan kepada emaknya. Namun itu sudah terlambat, air mata dan penyesalan karena berhutang maaf kini tiada guna, bahkan ada ucapan terakhir emak pada Rani malam itu, “nduk...maafkan emak, tak bisa bahagiakanmu, tak bisa turuti apa maumu, emak mungkin ditakdirkan hidup susah nduk, tapi tidak untuk kamu, kejar mimpimu nduk, emak tak sanggup lagi, emak sudah tua. Tapi satu nduk...jangan pernah tak mensyukuri nikmat ini, karena Allah punya rahasia lain, maafkan emak nduk”. Bahkan dalam ucapan emak itu Rani malah menjawabnya dengan kata-kata kasar “Ah...emak memang orang sial, gak penting juga emak dilahirin di dunia ini, toh tambah bikin susah, nyesel Rani dilahirin emak”, sentak Rani. Namun itu semua berakhir dengan tangisan dan penyesalan tiada guna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS TROTOAR

Analisis Penyimpangan Bahasa pada Puisi

Analisis Penyimpangan Bahasa dalam Puisi “Sajak Rumah dan Sesuatu yang hampa, Sesuatu yang diam, Tersisa” Karya sastra pada das...