Patah
Kakiku tak Patahkan Semangatnya
Dinginnya gelap malam
sepoi angin menembus dedaunan dan menyisir di setiap celah-celah kehidupan kota
dan ditambah lambaian-lambaian dedaunan dipinggiran jalan seakan menarik emak
untuk segera pulang dari gundukan Rupiah yang ia anggap sebagai alat untuk
penyambung nafasnya di tiap hari. Di malam itu emak dengan guyuran keringat
disetiap tubuhnya, pulang kerumah dengan keadaan lusuh karena di hari itu emak
telah kerja seharian penuh, meski sudah seharian penuh upah yang didapat tak
sebanding dengan keringat yang bercucuran, itupun emak sudah bersyukur karena
sudah mendapatkan upah, daripada seperti hari kemarin emak pulang hanya membawa
keringat saja, dan sebungkus nasi itupun diberi tetangga di ujung jalan itu.
Detikpun terus berlalu
meski terasa lama, karena dilewatinya hari dengan rasa tak bahagia, dan hidup
tanpa suami. Kebahagiaan emak hanya satu yaitu Ujang, ujang adalah anak semata
wayangya mereka berdua tinggal bersama itupun dipetakan ditepi jembatan, istana
mereka hanya berdinding kerdus, dan disetiap malamnya merteka tidur
berselimutkan angin yang menggelikan.
Sudah satu bulan ini
Ujang hanya terbaring dirumahnya, karena setelah kejadian itu, sebelumnya ujang
bekerjasama sep[erti emak, yaitu sebagai pemulung, tapi kini Ujang harus
bersitirahat dan dengan berat hati mengijinkan emak bekerja sendirian, “
sungguh benar tak tega melihat emak mandi keringat sendiri, sedangkan aku harus
berbaring di rumah”, kata Ujang. Bahkahsering kali Ujang menangis karena keadaannya
padahal keinginan Ujang adalah bisa bahagiakan emak. Ibu yang saying padanya.
Detik pun terus
melintasi celah-celah kehidupan, rasa sakit itu npun perlahan semakin membaik
harus melewati satu proses lagi untuk penyembuhan itu, tapi semua tak berjalan seperti
yang diharapkan Ujang harus menahan rasa sakit kakinya itu, demi emnak yang
dicintainya, setelah kejadian tabrak lari itu Ujang sudah tak bisa maksimal
untuk membantu emak, kakinya yang patah dan harus dipasangkan alat bantu untuk
meluruskan kaki ujang, tapi waktu terusa berputar dan alat itu harus dilepas
kembali, agar Ujang tak merasakan sakit disaat harus berjalan, dan dengan tekad
rupiah, Sisa dari membeli kebutuhan hidupnya. Karena emak yakin jikalau suatu
hari nanti, emak bisa membiayai pengobatan
itu. Bahkan emak rela mandi keringat demi putra kesayangannya itu. Tapi Ujang
tak berdiam diri melihat emaknya banting tulang sendiri, kini Ujang berusaha
menyembuhkan rasa sakit itu dengan senyuman semangat disetiap pagi untuk emak.
Meskipun dengan kaki yang berjalan tak sempurna, ujang tetap saja menaiki
gundukan gundukan sampah itu, sesambil menahan sakit Ujang melihat kanan kiri
bahkan mengeruk sampah-sampah dihadapannya. Dan berharap ada botol-botol
plastic yang bisa dijual kepada juragan rongsokan. Keringat pun terusbercucuran
tak terasa, matahari sudah lelah menyinari, hingga langit berwarna kuning
kemerahan, tanda emak dan Ujang harus mengakhiri petualangan digundukan rupiah
itu, dan harus segera menyetorkan kepada juragan riongsokan, untuk ditimbang.
Upah hari ini lebih lumayan daripada hari kemarin, Karena hasil upah emak
digabung punya Ujang seharian keringat mereka bercucuran hanyalah mendapat upah
Rp.10.000, bagi mereka uang 10.000 itu adalah nominal yang sungguh besar,
seperti biasa emak menyisakan separuh untuk ditabung, untuk pengobatan anak
kesayangannya, dan yang separuh untuk dibelikan makanan diujung jalan di warung
langganan mereka, memang mereka tak pernah masak sendiri karena merekea memang
tak memiliki peralatan memasak. Disetiap harinya mereka selalu seperti ini
itupun jika ada upah yangt diterima, jika tidak merekea harus menahan perih
teriakan perut mereka. Menahan semalaman, dan menanti hari esok dan berharap
yang terindah untuk hidup mereka.
Hari-haripun terus
berganti, sing berganti malam begitupun sebaliknya, perjalanan hidup mereka
sungguh penuh dengan duka meskipun terkadang tersenyum, hanya sebagai hiasan
semata. Sebenarnya Ujang sungguh masih sangat muda, dan gundukan rupiah itu,
bukan tempat yang tepat bagi Ujang melainkan Ujang sehgarusnya masih ermasakan bangku sekoalah, kehangatan
sewajarnya anak remaja, bercanda dengan sebayanya. Tapi cerita hidup kita
bukanlah kita yang emnuliskannya, kita hanya sebagai pemeran kehidupan ini. Seringkali
Ujang meneteskan air mata disaat melihat remaja seumurnya bercanda, didepan
halte sambil menunggu bus yang akan ditumpanginya, dengan mengenakan seragam
sekolah. Ujang hanya bisa diam sesambil menoleh kea rah remaja-remaja itu.
Ujang sebenarnya ingin sekali seperti mereka, tak jarang dalam lamunannya Ujang
menghayalkan “Andai aku dilahirkan dari keluarga yang berada, pasti yang aku
gendung bukanlah karung-karung yang berisikan sampah, melainkan tas yang berisi
buku, pensil dan peralatan sekolag lainnya, sungguh bermimpi rasanya.”
Panas terik matahari,
membuat emak dan ujang kelelahan, disaat bekerja mengaruk harta karun
digundukan rupiah. Setiap kelelahan ujang istirahat sejenak dibawah pohon
sesambiil menikmati keindahan alam disekitarnya. Meskipu tak seperti
kenyataannya, meskipun Ujang tinggal dikota, tapi Ujang dan emak tak pernah
merasakan senyuman layaknya orang berdasi yang berada digedung-gedung yang
menjulang langit itu. Dan seringkali Ujang dan Emak harus menanggung sakit
hati, disaat mereka harus dihina didepan masyarakat umum. Sampai Ujang
berfikiran apalah guna harta, pakaian berdasi jikalau hatinya hatinya lebih
rendah dari seorang pemulung. Bagi Ujang senyuman mereka ini bukannlah senyuman
tulus dari hati tapi melainkan senyuman terpaksa yang dilakukan untuk mencari
rupiah, sampai-sampai mereka tak pedulikan kondisi alam dan tersiksa karena
ulah mereka, memang mereka tak pernah menahan pwerihnya jeritan jeritan perut
yang seperti kilatan kilatan petir di angkasa, menurut Ujang mereka hanyalah
manusia sombong yang bersembunyi dibalik senyuman munafiknya itu, karena mereka
hanya tersenyum pada manusia-manusia berdasi pula. Gemerlap lampu dikota-kota
sudah emnutup mata mereka dan membungkam mata hatinya.
Detik waktu telah
terlewati warna indah meski menyakitkan. Ujang dan Emak telah melewati semuanya
dengan detik ini, detik yang membawa sejuta cerita, sungguh malang nasibnya,
hingga kini mereka belum juga bisa mendapatkan lembaran-lembaran rupiah untuk pengobatan kakinya, bahkan Ujang seperti
menyerah dalam setiap putaran hidupnya dan sudah tak lagi berharap yang terbaik
untuk kakinya, yang penting ia bisa berjalan dan bagaimana caranya menyambung
nafas untuk keesokan hari. Bahkan cita-cita Ujangpun semakin lama semakin
terlupa yang penting disetiap harinya ujang bisa memelukm hangat emak,
sbeenarnya Ujang hanyalah menggantungkan mimpinya setingi tanah tak melebihi
gundukan sampah itu. Ujang hanya ingin bisa sekolah agar bisa membaca dan
menuylis, hanya itu saja. Sungguh tak pernah ada dibenak ujang untuk bersekolah
setinggi mereka, mereka orang-orang berdasi yang hanya bisa menipu mata hatinya
sendiri. Ujang hanya ngin bahagiakan emak yang telah melahirkannya dan member
warna dalam celah kekosongan hidup ujang. Bahkan ujang bangga karena telah
dipercaya menjadi seorang anak dari emak yang sungguh besar pengorbanannya
bahkan emak rela menjadi kaki buat ujang, disaat kejadian itu. Memang ujang tau
mimpi besar adalah bisa membiayai pengobatan dan pelepasan pen di kakiku ini,
tapi aku sungguh tak tega jika harus melihat emak seperti itu, biarlah, aku
sudah lelah, karena aku juga mempunyai mimpi, memang itu adlaah mimpi besar
emak tapi tidak bagiku, mimpiku adalah membahagiakan emak, selalu membuat emak
tersenyum dan tak lagi bergelut dengan bau-bau busk gundukan rupiah itu,
melainkan wewangian bung yang tumbuh dipinggiran rumahku, rumah yang tak hanya
berdinding kardus dan menempel di tembok pinggiran kali yang rusuh,melainkan
seperti istana yang pernah aku ceritakan kepada emak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar