CERPEN - KARYA MARISCA IRGI LAOCHONG

Perempuan yang kehilangan: Payudara
Oleh: Marisca Irgi Laochong


            Sekuat apalagi aku harus menebas cakrawala, memilih diksi dan narasi pada jangkah luka yang tak mampu sirna. Jika cinta, mengapa mengabaikan ruang  yang berjasa memberi waktu untuk berdua. Sepotong puisiku yang tiba-tiba menjelma rindu, aku baca ini karena aku rindu, aku rindu karena diluar jendela sedang gerimis ritmis melongok aku mengenang bekas sepatumu dan keciprat air yang sendu.
            Kenanganku terhenti melihat seorang perempuan duduk sendirian di taman dekat apartemen yang aku hidupi. Pandangannya kosong, melamun melihat burung merpati yang berteduh dirindangnya pepohonan. Sungguh berbanding terbalik dari kenanganku dulu, aku dulu bermain hujan bersama kekasih, sungguh hal yang memalukan untuk diceritakan kalau akhirnya sekarang aku sendiri. Hmm, sudahlah aku ingin menceritakan apa yang sedang aku lihat sekarang tentang perempuan itu. Perempuan itu menaruh sejuta pertanyaan dikepalaku, aku benar-benar gemas melihat seorang perempuan yang bersedih hati, tak bergairah melawan kerasnya dunya seperti aku ini. Perempuan itu, apa dia tidak belajar ilmu filsafat? Apa dia tidak membaca puisi-puisi yang berserakan untuk menumbuhkan semangat? Apa dia tidak belajar perihal feminisme? Perilakunya sungguh menggambarkan tentangku di masa sepuluh tahun yang lalu. Pilu.
***
            Malam ini aku ingin keluar semalaman menikmati kopi trotoar sembari menyelesaikan puisi-puisiku yang sudah ditagih penerbit sejak seminggu yang lalu. Aku tidak sendirian, aku ditemani seorang perempuan yang bernama Bella. Aku harus menjemput dia dulu di tempat kerjanya, kalau tidak begitu pasti dia nesu, kawanku yang satu ini memang begitu. Dia penulis juga tulisannya sangat kontroversial, dia banyak menghakimi manusia lewat tulisannya, jangankan manusia Tuhan pun dipertanyakan olehnya, dia memang begitu. Aku rasa dia begitu karena, radar otak dan hatinya sudah terlalu jauh dan mungkin juga sempat terhakimi oleh dunia sampai-sampai sekarang dia dewasa menjadi seorang perempuan yang nyeleneh.
            “Pak Kopi item dua” jerit Bella
            “Udah itu aja neng??” timpal pak Jo.
            “ Iya pak, nanti dah nambah lagi hahaha pacar saya lagi badmood
            Kopi trotoar adalah tempat njaggong favorit kami. Penjualnya bernama pak Jo, dia baik sekali kadang-kadang saat aku ndak punya uang, dia membolehkan kami ngutang katanya aku dan Bella mirip dua anak gadisnya yang dibawa lari sopir trek yang sampai sekarang ndak kembali. Kasihan sekali pak Jo ini, Istrinya setahun lalu meninggal karena menahan sakit hati kehilangan anak gadisnya, bahkan seluruh hartanya habis untuk mencari anak gadisnya itu. Dan pak Jo yang sebatangkara ini memilih berjualan kopi dan gorengan dipinggir trotoar, sambil berharap anak gadisnya itu lewat dan mengingat bapaknya yang sudah lama menahan rindu.“Hatiku cuma ada satu sudah untuk mencintaimu, tolong jangan sakiti lagi nanti aku bisa mati. . .” goda Bella terhadapku.  “Ishhhh. . . inget ini tempat umum Bee. Nanti mereka mikir aneh-aneh tentang kita, wess... ndang cari cowok sana biar ndak nggodain aku trusss... hahaha” kata ku. “Halaaahhh aku maunya sama kamu, aku nggak doyan cowok”,  “Terus? Heh..”, kemudian kami tertawa terbahak-bahak.
            Malam ini berkabut, aku berdoa agar tidak hujan saja kasian pak Jo. Waktu sudah menunjukan pukul 00:15 malam. Bella sudah mulai ngglendot dipundakku, kami memang begini seperti orang yang pacaran, entahlah. . .
***
Genduk Cerutu: Sebuah episode kita.
Aku hanya sedikit tidak berani mengeksplorasi tubuhku.
Tentang:
; persetubuhan yang melahirkan diksi-diksi indah.
            ; yang diam-diam kami saling bercumbu dikala malam.
            ; yang pagi hari kami saling bergelut selimut demi sebuah prosa.
Tidak ada yang tau kecuali puisi-puisiku.
Tidak ada yang tau kecuali gagang pintu apartemen ku berbicara.
Tidak ada yang tau kecuali ranjangku bersuara.
...

            Sepotong puisi yang aku ciptakan semalam.
           
            Teriknya sang surya menyerobot memaksa masuk dan membangunkanku, aku bangun membuka jendela tempat favoritku bercengkerama dengan alam. “ Ahhhh... tutup jendelanya panassss,, aku masih ngantuk” Bella mengomel padaku, aku biarkan dia... aku terus saja berjalan ke dapur untuk menyeduh sepasang kopi. Setelah itu seperti biasa, aku menikmatinya di jendela sembari menatap keluar, melihat-lihat kenyataan apalagi yang akan diberi Tuhan. Biasanya aku berkata “Tuhan kenyataaan apalagi yang akan kau perlihatkan padaku??”
            Aku melihat perempuan itu lagi, sudah beberapa hari ini aku melihat dia termenung di sana. Aku semakin penasaran apa yang dia tunggu di taman itu, apa dia juga penulis yang suka melakukan hal nyeleneh sepertiku. Aku menengok Bella yang masih nyenyak dan malah menyelimuti tubuhnya, aku biarkan dia kemudian aku keluar untuk membeli keperluan dapur yang sudah habis, daripada nanti Bella mengomel karena bangun tidur kelaparan.

***
            Hari ini aku tidak ingin keluar rumah, aku ingin menulis di kamar saja. Bella juga tidak mau pulang kerumahnya, dia memang begitu lebih suka bersamaku dan menghabiskan waktu berdua. Tapi dia sering membuat aku marah, dia suka sekali menggangguku saat aku sedang mengaksarakan puisiku, seperti saat ini dia menciumi pipiku terus-menerus sampai aku benar-benar merasa geli. “Bee... sudah ahh! Aku mau menyelesaikan ini dulu” karena aku kegemasan aku cium bibirnya bertubi-tubi, kemudian kami tertawa terbahak-bahak bersama.
            Cepat sekali, sekarang sudah malam. Antologi puisiku belum juga usai. Bella juga sedang serius menyelesaikan cerpennya, katanya tentangku dan dia. Katanya Bella itu cerpen kontroversial, jadi yang membaca pertama harus aku. Aku menyeruput kopiku yang ke tiga, aku sudah menghabiskan 3 cangkir kopi. Aishhhh... betapa aku mencintai kopi itu. Seketika aku kaget, perempuan itu sekarang tidak hanya sendiri, dia berdua dengan seorang perempuan juga. Tidak terlalu jelas raut mukanya karena ini malam. Sepertinya mereka sedang bercengkerama, aku menikmati gerik tubuhnya seakan kupingku tau apa yang sedang mereka bicarakan. “kamu ngeliat apa sih?” tanya Bella. “hmm, bukan apa-apa.” Kemudian, Bella mendekat dan mencium pipiku kemudian ikut memandangi dua perempuan di taman itu. “Sepertinya aku mengenal mereka,” kata Bella. Aku kaget dan sontak menceritakan perilaku aneh perempuan yang berbaju merah itu, beberapa hari yang lalu. Kemudian Bella menceritakan tentang mereka: “ Mereka berdua adalah sepasang kekasih. Itu perempuan yang berbaju putih bernama Bian, dia kakak tingkat dikampusku, aku mengenalnya tapi tidak terlalu dekat. Aku rasa yang seperti katamu tadi, mereka sedang bertengkar soalnya yang berbaju putih itu kabarnya sedang dekat dengan seorang laki-laki. Mungkin dia cemburu.” Jelas Bella.
Aku dan Bella saling berebut menyeruput kopi, dia memang suka begitu malas membuat kopi, tapi menyeruput milikku. Katanya, agar lebih mesra. Kita masih memandang keluar jendela, kami seakan-akan menyimak percakapan mereka, menikmati geriknya bagaikan sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Kami berdua terkejut di saat Bian menarik tubuh perempuan itu kemudian merangkulnya dan mencumbuinya tak henti-henti.

Suasana kamarku seketika menjadi kikuk.

***
            Pagi masih menyisakan kantuknya. Aku terbangun seperti biasa, karena terik surya yang memaksa masuk ke kamarku. Aku terkejut, tak seperti biasanya perempuan kawan tidurku ini sudah bangun duluan, tapi ia tak beranjak dari ranjang. Ia memiringkan tubuhnya sembari menatapku yang baru mengutuhkan nyawa dari sisa kantuk semalam. “Pagi sayangku” kemudian, tiba-tiba saja ia menciumku tanpa ampun. “Bella, aku masih mengantuk, ughhhhhh.....” dia malah memelukku dan mencium bibirku tanpa ampun, seperti orang yang sedang kasmaran saja, rasanya ndak  adil kalau aku tak membalasnya.
Perempuan Yang Kehilangan: Payudara

Kekasih, setiap waktu bibirku ada pada rerasamu,
yang aku rindukan dan aku jadi kecanduan,
pada bekas terakhir selalu aku seruput sisa rindu akibat perasaan candu.

Dekapan yang menyetubuhi waktu tak berasa, karena aku hampa jika tak berpena
Terbahak dingklik memandangi asyiknya kita berdebat dibalik selimut manja.

Tergelitik pandangan  jendela akan rahasia rasi gemintangnya
Tentang sepasang perempuan yang tak bernalar.
Tentang sepasang perempuan yang mengadu kembara
Untuk: digandrungi.

Jika cinta, mengapa mengabaikan ruang yang berjasa memberi waktu berdua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS TROTOAR

Analisis Penyimpangan Bahasa pada Puisi

Analisis Penyimpangan Bahasa dalam Puisi “Sajak Rumah dan Sesuatu yang hampa, Sesuatu yang diam, Tersisa” Karya sastra pada das...