Berlagak
Lusuh
Matahari
masih selalu berkibar di cakrawala dan panasnya masih serta menyengat,
melelahkan….. iyaa sangat melelahkan! Jalanan kota yang tak pernah sepi,
berlalu lalang pencari uang. Mulai dari yang berdasi sampai yang berbaju lusuh
butuh uang. Uang merajai kehidupan sampai kita lupa mensyukuri nikmat sang
pencipta. Bahkan banyak pemalas yang berlagak malaikat memasang wajah memelas
dan itu semua hanya untuk uang….iya uang.
Disudut
kota yang tak pernah sepi berlalu lalang dengan tujuannya merajai kehidupan dan
ditemani matahari yang selalu setia menyengat pori-pori kulit. Terlihat
perempuan tua berkerudung merah di perempatan menunggu mobil-mobil yang berlalu
lalang dan berhenti di lampu merah. Mbok Pah… iya namanya Mbok Pah, bermodal
baju lusuh, mondar-mandir dengan wajah memelas sudah bisa dapat uang. Baginya
menjadi pengemis juga dinamakan pekerjaan tanpa modal mahal, tanpa ijazah dan
keahlian khusus, “Aku bisa kaya meski, aku pengemis” kata Mbok Pah dalam hati.
Perempatan lampu merah, pasar, kampong-kampung berdasi, dan halte adalah tempat
nongkrong Mbok Pah. Namun tak semua orang gampang memberi dan jika lampu merah
sepi Mbok Pah beralih ke pasar, dan jika pasar juga sepi Mbok Pah berkeliling
di kampong-kampung berdasi dan mampir dulu di halte. Malu….tak lagi malu meski
menjadi perempuan peminta-minta, dan meski tak semua tanggapan orang baik
kepada para pengemis belum lagi jika menerima perkataan pahit. Namun itu semua
sudah menjadi hal yang sangat biasa dan muka ini sudah dilapisi baja.
Pada
suatu hari Mbok Pah menelusuri jalanan kota yang ramai berlalu lalang. Namun,
kini Mbok Pah tak bernasib baik, di setiap pemberhentiannya ia selalu di tolak
bahkan diusir “buk….sedekahnya buk” Mbok Pah memelas. “lain kali saja buk! Gak
tau dagangan sepi apa!” penjual mengusir Mbok Pah. Terus berlalu begitu saja,
hanya perkataan pahit yang di terima Mbok Pah. Mbok Pah terus berjalan tanpa
lelah dan berhenti sambil merenungkan pekerjaannya ini. “Apes…sepi…gimana
caranya biar rame”, padahal aku sudah berwajah lusuh seperti ini”. Penghasilan
Mbok Pah menurun karena terlalu banyak saingan, dan sebagian besar dari mereka
memiliki kekurangan fisik. “Mbok…ngapain disitu, ayo maju terus pantang mundur”
teriak Nyoman (pengamen cilik).
Memang
musim seperti ini sepi bagi pengemis, berbeda dengan musim bulan suci Ramadhan.
Pada bulan Ramadhan semua orang berlomba-lomba untuk beramak tak peduli kepada
pengemis yang bagaimanapun. Jika musim begini orang-orang berpikir siapa yang
pantas diberi, karena pada kenyataannya keuntungan menjadi pengemis bisa lebih
besar dari seorang pedagang. Sehingga, menjadikan mereka malas dan lebih
memanjakan diri sebagai pengemis. Bisa saja saat ini dikatakan tidak ada
kehidupan pengemis yang malang, hanya saja mereka sendiri yang berlagak malang.
Mbok
Pah sebenarnya orang yang berkehidupan baik, hanya saja ia berlagak miskin
untuk dijadikan sebagai media mencari uang. Bahkan ia sampai rela mengotori
diri dan berpenampilan lusuh sengaja untuk menarik hati, agar banyak yang
mengasihinya. Apalagi di musim yang sepi ini Mbok Pah harus memutar otak, agar
orangsekitar lebih mengasihinya. Hingga terbesit dipikiran Mbok Pah “Jika aku
bawa bayi, pasti orang-orang lebih tak tega padaku”, “Tapi anak siap???” sambil
menelusuri jalanan Mbok Pah berpikir harus kepada siapa ia meminjam bayi, dan
terbesit di pikiran Mbok Pah anak siapa? Dan dimana? Mbok Pah melangkahkan
kakinya lebih cepat menuju rumah Asri. Sesampainya, Mbok Pah langsung
membicarakan maksud kedatangannya kepada Asri. “Sri, gimana kalau anakmu tak
bawa cari duit”. “Lho..Rani masih kecil mbok, iya kalo Nyoman”, jawab Asri.
“Justru itu Sri, bisa buat tambah beli susu kan dan mengurangi beban Nyoman”.
“Hmmm, nanti malah jadi dosa mbok” jawab Asri bingung. “Walah Sri, yang penting
bisa makan dulu, baru mikirin yang namanya dosa” jawab Mbok Pah meyakinkan.
“Hmmm apa nggak malah merepotkan mbok” “Udahlah….tak usah kau pikirkan itu, aku
hanya kasihan pada Nyoman jika menanggung beban seberat ini” “Baiklah mbok…aku
terima tawaran ini”jawab Asri tersenyum.
Pagi
hari yang cerah ini Mbok Pah sangat bersemangat karena sudah mendapatkan bayi
untuk mengemis. Mbok Pah melangkahkan kakinya kerumah Asri untuk menjemput
Rani, sesampai disana Mbok Pah langsung melanjutkan penelusurannya . berhenti
di halte, Mbok Pah mengotori baju dan selendang untuk menggendong Rani, dan
memasang wajah memelas sambil menghadap omplong yang telah diletakkan
didepannya. Setelah di halte mbok Pah melanjutkan perjalanannya kepasar, ke
kampong-kampung berdasi. Sangat menakjubkan seharian bersama Rani bisa
menghasilkan keuntungan dua kali lipat. Rani kini bukan menjadi anak pembawa
sial karena kekurangan fisiknya, tapi pembawa keberuntungan khususnya bagi mbok
Pah.
Tiap
hari berlalu dengan begitu saja, tetap menjadi pengemis dan tetap menggendong
bayi tak berdosa itu. Rani sebenarnya dilahirkan untuk mendapatkan kasih saying
bukan sebagai alat pencari uang, meski Rani memiliki tangan tak tak sempurna.
Ketegaan Asri untuk menyewakan anaknya dilatarbelakangi oleh kondisi ekonominya
dan selalu menganggap Rani pembawa sial. Rani hanyalah bayi tak berdosa, bayi
yang masih belum mengerti kejamnya kehidupan dan anugrah illahi yang seharusnya
dijaga. Tapi, Asri malah keasyikan dengan keuntungan yang diberi mbok Pah.
Semakin lupa kepada sang Pencipta, dan malah bersyukur akan kehadiran mbok Pah
yang datang seperti malaikat penolong.
Marisca
Irgi Laochong
XII-Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar