Setitik
kegelapan mencari seberkas cahaya
Keasyikan
sungguh terasa karena penulis mengajak kita berpetualang ke belasan waktu
silam, dengan kealamian suatu kehidupan,dan seperti yang kita ketahui banyak
sekali ragam budaya kita, dan dalam novel ini kita akan berpetualang kemasa
lampau dimana kita akan merasakan kehangatan lingkungan kita,teduhnya dunia
kita, dan kita merasakan nyanyian-nyanyian burung di tiap pagi dan senja
hari, kita akan kembali merasakan
wewangian-wewangian itu merasakan bisik-bisik suara kepercayaan.
Di
novel ini kita bisa merasakan apa yang tak pernah kita bayangkan, sebuah
perjuangan dan pergolakan batin yang dirasakan tokoh disaat, ia di hadapkan
dengan sebuah kebudayaan dan sebuah kewajiban, yang sebernanya sunnguh berbeda
dengan latarbelakang tokoh, di novel ini kita akan merasakan perjuangan yang
tak pernah kita bayangkan bahkan inginkan di saat kita harus berhadapan dengan
perbedaan budaya, perbedaan pemikiran
bahkan kepercayaan. Dan disaat kita harus saling menghargai satu dengan yang
lainya, meskipun itu harus bertentangan dengan kepribadian kita, tapi di sisi
lain ini adalah sebuah kewajiban yang harus di pertanggungjawabkan.
Di
novel ini kita juga akan ikut merasakan bagaimana tradisi itu sungguh ditaati,
di takuti, bahkan bisa jadi pengekang bagi masyarakat sekitar, tradisi yang
penuh dengan kepercayaan animistis, tradisi yang penuh dengan ketakhayulan.
Di
novel ini penulis juga memberi hidangan bagi kita, dimana kita hadapkan dengan
pemikiran orang tua dan anak muda, orang tua yang selalu melibatkan realita
kehidupan dengan budaya animistis berbeda dengan pemikiran anak muda yang
selalu menggunakan logika dalam berfikir. Penulis menggambarkan gagasannya
dalam novel ini yaitu dengan tokoh madun dia adalah anak kecil yang polos,
lugu. Dengan kenakalannya bersama temannya dia seperti mengubah dirinya menjadi
seberkas cahaya yang akan menyinari kegelapan, yang terjadi di desa Woh ini.
Penulis
seakan mengajak kita berpetualang kebelasan waktu silam, dengan kedamaian suatu
kehidupan,dan kekayaan budaya kita , dimana setiap insan masih hangat dengan
wewangian-wewangian mistis itu dan masih
melekat pada kuping mereka tentang bisik-bisik kepercayaan.
Di
judul kedua ini penulis menggambarkan pergolakan batin tokoh,yaitu pak San dan
bu Nis, mereka adalah sepasang suami istri yang di tugaskan sebagai guru di
desa woh , desa yang masih kental dengan budaya animistisnya dan sangat berbeda
dengan latar belakang mereka.
Di
bab ini penulis memberi contoh bagaimana disaat kita harus saling menghargai
antar sesama, terutama antar budaya dan kita harus bisa menjadi sosok yang
bertanggung jawab dalam mengerjakan kewajibannya, meski itu harus bertentangan
dengan budaya, kepercyaan, bahkan kepribadian.
Mengingat
kembali tradisi yang di turunkan oleh nenek moyang kita, di bab ini bukan soal
perjodohan tetapi sebuah pergolakan batin seorang tokoh yaitu Karmin dan
Pasinem, yang harus dilema karena perbedaan budaya , dan perbedaan keyakinan
atau kepercayaan. Tetapi di bab ini Karmin dan Pasinem dengan cinta
sederhananya mereka bisa bersatu, dan menjalani kehidupan bersama meskipun
harus menentang segalanya mereka bisa membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan
cinta yang seutuhnya di tandai dengan kelahiran buah hatinya yaitu madun.
Di
bab ini penulis memberi hidangan bagi kita sebuah konflik yang sering terjadi
di kehidupan sekarang, sebuah konflik terjadi karena perbedaan pemikiran antara
orang tua dan anak muda, orang tua yang cenderung berfikiran lebih kolot
dan animistis berbeda dengan pemikiran
anak muda sekarang yang cenderung berfikir menggunakan logika daripada percaya
kepada takhayul.
Keluguan,kepolosan,kenakalan
seorang anak yang bernama madun, madun tak pernah menaati larangan orang tuanya
untuk menghormati sesajen yang diberikan danyang, madun seperti seorang bocah
kecil yang dikirimkan tuhan untuk menjadi pendobrak awal dari perubahan.
Dengan
penuh kedamaian, dengan dikelilingi oleh hutan rimbun, dan kesejukan yang
selalu menemani matahari, sungguh berbeda dengan keaadan yang kita alami kini,
di bab ini penulis menceritakan tentang asal mula desa woh, yang artinya desa
yang memiliki hutan yang rimbun dan pepohonan yang tak pernah berhenti berbuah.
Di
bab ini penulis memberi amanat yang di tuangkan dalam secangkir kehidupan
dengan konflik yang sering kita jumpai bahkan alami, dan bisa kita jadikan
sebuah pembelajaran, yaitu sebuah desa, wilayah bahkan suatu organisasi sangat
diperlukan adanya aturan,dan wajib di taati oleh semua pihak, dan yang penting
di perlukan seorang pemimpin yang tegas dan bertanggung jawab untuk melancarkan
jalannya aturan tersebut, karena aturan di ciptakan bertujuan untuk menciptakan
kedamaian dan kentrentaman bukan untuk mengekang masyarakatnya.
Kenakalan
seorang tokoh madun yang di gambarkan penulis yang selalu mencoba menguba pola
pikir warganya, yang cenderung animistis. Di sini madun adalah bocah yang
berfikiran dengan logika, meski ia tumbuh di desa yang sangat animistis, di bab
ini madun tetap saja tak jera menyantap sesajen meskipun ia tau akan hukuman
bagi seorang pelanggar adat, menurut madun makanan yang telah di sajikan
lengkap dengan kembang dan kemenyan itu, sama saja sudah di buang oleh
pemiliknya daripada basi lebih baik untukku dan temanku yang sama-sama
manusianya.
Dibab
ini penulis menceritakan disaat pemikiran realistis harus di hadapkan dengan
animistis, sesuai dengan kebudayaan yang sering kita temukan sekarang, seperti
halnya masyarakat sering pergi ke makam para tetuah atau sering disebut punden,
mereka yang harusnya pergi kesana untuk mendoakannya tetaapi tidak, sekarang
banyak yang pergi kesana dengan tujuan untuk mencari petunjuk, mencari rezeki.
Di
bab ini penulis mengajak kita berfikir dari dua sisi tentang kepercayaan,
tentang budaya yang telah di terapkan di dalam cerita yaitu budaya animistis
atau perubahan yang mengajak kita untuk bersyukur tanpa dengan cara yang
berlebihan. Yaitu disini di contohkan agama islam, dengan wujud rasa syukur
kita kepada Allah kita tak perlu dengan yang berlebihan ataupun dengan
kemewahan. Cukup dengan niat an dan kekhusyukannya dalam menjalani.
Untuk
mengucap puji syukur tak perlu dengan yang berlebihan karena di dalam islam
sudah di jelaskan sesunggunanya yang berlebihan itu tidak baik, di bab ini
warga desa woh sudah mulai tertarik untuk mempelajari budaya islam, karena
dengan agama islam tak perlu lagi menyediakan sesajen-sesajen yang menyulitkan
perekonomian keluarga, dan dengan beragama islam kita bisa melakukan ibadah
dengan keluarga, dan bisa dilakukan dengan siapa saja, tanpa harus dengan
perbedaan kasta.
Buku
ini menggunakan bahasa yang mudah di pahami oleh pembaca, dan cover buku ini
memiliki ketertarikan sendiri, dari segi warna cover ini menunjukan bahwa
cerita yang terkandung di dalamnya menceritakan tentang masa yang terjadi
puluhan tahun lalu, di saat semuanya masih lengket dengan zaman
kebodohan,kemiskinan dan pada akhirnya menuju pada proses kehidupan yang lebih
baik atau lebih berwarn
Dengan
membaca buku ini kita seperti merasakan pergulatan di zaman puluhan tahun lalu,
dengan berbagai macam perbedaan yang menimbulkan konflik, dan di mana kita
merasakan zaman yang penuh dengan kesengsaraan, kebodohan. Dan perjuangan batin
yang dirasakan tokoh. Dan kita merasakan disaat kegelapan yang mencari seberkas
cahaya yang digambarkan dengan kenakalan dan kekonyolan madun dan teman-temanya
Dengan
beraneka ragam budaya kita di Indonesia kita harus saling menghormati dan
saling menghargai, memang kenyataanya kita tidak bisa terlepas akan budaya,
atau kepercayaan mistis seperti itu, meskipun kita sering menganggap bahwa kita
hidup di zaman modern, tetapi kita tidak akan pernah bisa menganggap diri kita
adalah orang modern, karena budaya terus berada di sekitar kita, dan sejak
lahir kita sebagian besar akan di pengaruhi degan kepercyaan-kepercayaan yang
biasa kita sebut dengan mitos.