RESENSI - DRAMA KISAH RAMA DAN SINTA



Cinta Sejati Akan Kembali
Mengalih wahanakan pementasan drama menjadi sebuah resensi
Di nusantara memiliki sejuta budaya, yang tak semuanya diketahui oleh masyarakat, dan pada kenyataannya kita yang kaya dengan budaya malah justru tak mengerti bahkan tak mengetahuinya. Apalagi di kalangan remaja, sejarah dan budaya hanyalah hal yang tak penting untuk  diingat apalagi sampai melestarikannya. Sebagaimana cerita Rama Sita yang tidak banyak orang mengetahui ceritanya berlatar hal tersebut sang sutradar “Tania Nana Rista” akan menguak dan mengajak kita berpetualang diwaktu silam, dengan tujuan ingin membuktikan bahwa cerita sejarah bukanlah cerita yang membosankan melainkan sangat asyik untuk diketahui lebih dalam, begitu juga surtadara Tania ingin menunjukkan amanat yang terkandung, sangatlah taka sing dengan kehidupan kita di zaman sekarang. Dan sutradara Tania juga mencptakan tontonan yang harapkan bisa merangkul penonton dengan antusiasnya yang sangat tinggi, yaitu dengan menyaksikan tontonan penuh dengan aksi –aksi konyol, dan kebanyolan-kebanyolan pemainnya. Tania nanda rista juga tidak melupakan kisahn perjuangan cinta diantara Rama dan Sita yang penuh dengan tangisan, keromantisan dan perjuangan sampai dengan penantian cinta sejati, karena bagaimanapun juga, sesakit apapun itu, jika memang itu adalah cinta sejati itu pasti akan kembali.
Dewi Sita adalah putrid yang sangat cantik dari kerjaan Mantili, ia adlaah istri dari pangeran yang sangat bijaksana dan gagah perkasa ia adalah Rama Wijaya (surya Bagaskara), mereka saling mencintai  dan mereka saling menjaga cintanya. Tetapi di tengah  perjalanan cintanya, mereka harus mengalami pergulatan batin yang mengharukan. Dimana diantara mereka hadir seorang lelali gagah perkasa, tetapi ia berbeda dengan Rama ia sangat bengis, ia adalah Rahwana, Rahwana sangat menginginkan Dewi Sita karena menurut Rahwana Dewi Sita adalah Reinkarnasi dari Dewi Widowati. Dengan kelicikannya Rahwana berusaha mengambil Dewi Sita dari pelukan Rama, segala cara akan dilakukan Rahwana hingga pada suatu hari Dewi Sita terjebak dalam kelicikan Rahwana, sehingga Rahwana menculik Dewi Sita dan menyembunyikannya di Alengka ini semua berhasil ia lakukan tanpa sepengetahuan Rama, ini dengan maksud akan menikahi Dewi Sita (Lyng lie).
Disisi lain, Rama dan Laksmini (Linda) adiknya, bingung karena menghilangnya Dewi Sita, Rama terus mencari dimana keberadaan Dewi Sita, meski nyawa jadi taruhannya Rama tak menyerah untuk menemukan Dewi Sita. Karena bagi Rama Dewi Sita lebih berharga dari nyawanya. Begitupun Dewi Sita ia juga berusaha menjaga kesucian cintanya untuk Rama. Ujian cinta mereka sungguh penuh dengan tetesan keringat dan air mata. Kesetiaanlah yang sangat diuji di cerita ini, hingga pada suatu hari Rama mengetahui keberadaan Sita yang ternyata diculik Rahwana, perjuangan Rama tak sampai disini hingga ia menyiapkan strategi melawan Rahwana dan merebut kembali Dewi Sita. Tetapi saat mereke dipertemukan kisah cinta mereka belum berakhir disini, Rama meragukan kesucian Dewi Sita karena ia telah lama tinggal bersama Rahwana lelaki licik itu. Tetapi dengan keutlusan cinta Dewi Sita, Dewi Sita mampu meyakinkan Rama, dan kembali kepelukan Rama seperti dahulu.
Dalam penampilan Drama ini sutradara ingin menciptakan romantisme cinta sejati, dengan penantian dan keyakinanlah cinta sejati bisa kembali. Tetapi sutradara menyajikan drama ini dengan penuh keharmonisan, dengan tujuan agar penonton tertarik dan berantusias untuk menonton drama ini. Karena pada dasarnya tidak semua penonton mengerti tentang drama, dan menyukainya, kebanyakan penonton yang kurang berantusias malah menimbulkan kagaduhan yang bisa mengurangi kekuatan vocal pemainnya.




RESENSI - NOVEL DELUSI KARYA SUPAAT I. LATIHIEF



Setitik kegelapan mencari seberkas cahaya





Keasyikan sungguh terasa karena penulis mengajak kita berpetualang ke belasan waktu silam, dengan kealamian suatu kehidupan,dan seperti yang kita ketahui banyak sekali ragam budaya kita, dan dalam novel ini kita akan berpetualang kemasa lampau dimana kita akan merasakan kehangatan lingkungan kita,teduhnya dunia kita, dan kita merasakan nyanyian-nyanyian burung di tiap pagi dan senja hari,  kita akan kembali merasakan wewangian-wewangian itu merasakan bisik-bisik suara kepercayaan.

Di novel ini kita bisa merasakan apa yang tak pernah kita bayangkan, sebuah perjuangan dan pergolakan batin yang dirasakan tokoh disaat, ia di hadapkan dengan sebuah kebudayaan dan sebuah kewajiban, yang sebernanya sunnguh berbeda dengan latarbelakang tokoh, di novel ini kita akan merasakan perjuangan yang tak pernah kita bayangkan bahkan inginkan di saat kita harus berhadapan dengan perbedaan budaya, perbedaan  pemikiran bahkan kepercayaan. Dan disaat kita harus saling menghargai satu dengan yang lainya, meskipun itu harus bertentangan dengan kepribadian kita, tapi di sisi lain ini adalah sebuah kewajiban yang harus di pertanggungjawabkan.
Di novel ini kita juga akan ikut merasakan bagaimana tradisi itu sungguh ditaati, di takuti, bahkan bisa jadi pengekang bagi masyarakat sekitar, tradisi yang penuh dengan kepercayaan animistis, tradisi yang penuh dengan ketakhayulan.
Di novel ini penulis juga memberi hidangan bagi kita, dimana kita hadapkan dengan pemikiran orang tua dan anak muda, orang tua yang selalu melibatkan realita kehidupan dengan budaya animistis berbeda dengan pemikiran anak muda yang selalu menggunakan logika dalam berfikir. Penulis menggambarkan gagasannya dalam novel ini yaitu dengan tokoh madun dia adalah anak kecil yang polos, lugu. Dengan kenakalannya bersama temannya dia seperti mengubah dirinya menjadi seberkas cahaya yang akan menyinari kegelapan, yang terjadi di desa Woh ini.
Tingkah sumbang
Penulis seakan mengajak kita berpetualang kebelasan waktu silam, dengan kedamaian suatu kehidupan,dan kekayaan budaya kita , dimana setiap insan masih hangat dengan wewangian-wewangian  mistis itu dan masih melekat pada kuping mereka tentang bisik-bisik kepercayaan.
Simpang keindahan
Di judul kedua ini penulis menggambarkan pergolakan batin tokoh,yaitu pak San dan bu Nis, mereka adalah sepasang suami istri yang di tugaskan sebagai guru di desa woh , desa yang masih kental dengan budaya animistisnya dan sangat berbeda dengan latar belakang mereka.
Tengah kumamang
Di bab ini penulis memberi contoh bagaimana disaat kita harus saling menghargai antar sesama, terutama antar budaya dan kita harus bisa menjadi sosok yang bertanggung jawab dalam mengerjakan kewajibannya, meski itu harus bertentangan dengan budaya, kepercyaan, bahkan kepribadian.
Tepian langka
Mengingat kembali tradisi yang di turunkan oleh nenek moyang kita, di bab ini bukan soal perjodohan tetapi sebuah pergolakan batin seorang tokoh yaitu Karmin dan Pasinem, yang harus dilema karena perbedaan budaya , dan perbedaan keyakinan atau kepercayaan. Tetapi di bab ini Karmin dan Pasinem dengan cinta sederhananya mereka bisa bersatu, dan menjalani kehidupan bersama meskipun harus menentang segalanya mereka bisa membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan cinta yang seutuhnya di tandai dengan kelahiran buah hatinya yaitu madun.
Padang rimba
Di bab ini penulis memberi hidangan bagi kita sebuah konflik yang sering terjadi di kehidupan sekarang, sebuah konflik terjadi karena perbedaan pemikiran antara orang tua dan anak muda, orang tua yang cenderung berfikiran lebih kolot dan  animistis berbeda dengan pemikiran anak muda sekarang yang cenderung berfikir menggunakan logika daripada percaya kepada takhayul.
Runtuhan senyum
Keluguan,kepolosan,kenakalan seorang anak yang bernama madun, madun tak pernah menaati larangan orang tuanya untuk menghormati sesajen yang diberikan danyang, madun seperti seorang bocah kecil yang dikirimkan tuhan untuk menjadi pendobrak awal dari perubahan.
Lukisan kedamaian
Dengan penuh kedamaian, dengan dikelilingi oleh hutan rimbun, dan kesejukan yang selalu menemani matahari, sungguh berbeda dengan keaadan yang kita alami kini, di bab ini penulis menceritakan tentang asal mula desa woh, yang artinya desa yang memiliki hutan yang rimbun dan pepohonan yang tak pernah berhenti berbuah.
Lukisan fatamorgana
Di bab ini penulis memberi amanat yang di tuangkan dalam secangkir kehidupan dengan konflik yang sering kita jumpai bahkan alami, dan bisa kita jadikan sebuah pembelajaran, yaitu sebuah desa, wilayah bahkan suatu organisasi sangat diperlukan adanya aturan,dan wajib di taati oleh semua pihak, dan yang penting di perlukan seorang pemimpin yang tegas dan bertanggung jawab untuk melancarkan jalannya aturan tersebut, karena aturan di ciptakan bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan kentrentaman bukan untuk mengekang masyarakatnya.
Tarian termanis
Kenakalan seorang tokoh madun yang di gambarkan penulis yang selalu mencoba menguba pola pikir warganya, yang cenderung animistis. Di sini madun adalah bocah yang berfikiran dengan logika, meski ia tumbuh di desa yang sangat animistis, di bab ini madun tetap saja tak jera menyantap sesajen meskipun ia tau akan hukuman bagi seorang pelanggar adat, menurut madun makanan yang telah di sajikan lengkap dengan kembang dan kemenyan itu, sama saja sudah di buang oleh pemiliknya daripada basi lebih baik untukku dan temanku yang sama-sama manusianya.
Pekat kepalsuan
Dibab ini penulis menceritakan disaat pemikiran realistis harus di hadapkan dengan animistis, sesuai dengan kebudayaan yang sering kita temukan sekarang, seperti halnya masyarakat sering pergi ke makam para tetuah atau sering disebut punden, mereka yang harusnya pergi kesana untuk mendoakannya tetaapi tidak, sekarang banyak yang pergi kesana dengan tujuan untuk mencari petunjuk, mencari rezeki.
Samar keutuhan
Di bab ini penulis mengajak kita berfikir dari dua sisi tentang kepercayaan, tentang budaya yang telah di terapkan di dalam cerita yaitu budaya animistis atau perubahan yang mengajak kita untuk bersyukur tanpa dengan cara yang berlebihan. Yaitu disini di contohkan agama islam, dengan wujud rasa syukur kita kepada Allah kita tak perlu dengan yang berlebihan ataupun dengan kemewahan. Cukup dengan niat an dan kekhusyukannya dalam menjalani.
Perayaan delusi
Untuk mengucap puji syukur tak perlu dengan yang berlebihan karena di dalam islam sudah di jelaskan sesunggunanya yang berlebihan itu tidak baik, di bab ini warga desa woh sudah mulai tertarik untuk mempelajari budaya islam, karena dengan agama islam tak perlu lagi menyediakan sesajen-sesajen yang menyulitkan perekonomian keluarga, dan dengan beragama islam kita bisa melakukan ibadah dengan keluarga, dan bisa dilakukan dengan siapa saja, tanpa harus dengan perbedaan kasta.

Buku ini menggunakan bahasa yang mudah di pahami oleh pembaca, dan cover buku ini memiliki ketertarikan sendiri, dari segi warna cover ini menunjukan bahwa cerita yang terkandung di dalamnya menceritakan tentang masa yang terjadi puluhan tahun lalu, di saat semuanya masih lengket dengan zaman kebodohan,kemiskinan dan pada akhirnya menuju pada proses kehidupan yang lebih baik atau lebih berwarn
Dengan membaca buku ini kita seperti merasakan pergulatan di zaman puluhan tahun lalu, dengan berbagai macam perbedaan yang menimbulkan konflik, dan di mana kita merasakan zaman yang penuh dengan kesengsaraan, kebodohan. Dan perjuangan batin yang dirasakan tokoh. Dan kita merasakan disaat kegelapan yang mencari seberkas cahaya yang digambarkan dengan kenakalan dan kekonyolan madun dan teman-temanya
Dengan beraneka ragam budaya kita di Indonesia kita harus saling menghormati dan saling menghargai, memang kenyataanya kita tidak bisa terlepas akan budaya, atau kepercayaan mistis seperti itu, meskipun kita sering menganggap bahwa kita hidup di zaman modern, tetapi kita tidak akan pernah bisa menganggap diri kita adalah orang modern, karena budaya terus berada di sekitar kita, dan sejak lahir kita sebagian besar akan di pengaruhi degan kepercyaan-kepercayaan yang biasa kita sebut dengan mitos.



ESAI - analisis puisi Tercekik



TERCEKIK

Dalam puisi “Tercekik” karya Agus Harianto ini sangat menakjubkan. Karena dalam puisi ini banyak sekali gaya bahasa dan rima. Puisi ini juga sulit dimengerti dan diketahui maknanya. Dan dalam puisi ini Agus harianto memunculkan gaya bahasa di antaranya,anafora yang artinya majas yang mengulang kata disetiap baris yang sama dalam setiap satu bait,seperti contohnya pada puisi “Tercekik” ini terdapat majas anafora pada kata kata pertama “dalam”. Tidak hanya itu masih ada lagi majas yang lain yang turut memberi warna keindahan pada puisi “tercekik” ini yaitu,majas personifikasi dan hiperbola. Majas personifikasi yang artinya majas yang memberi pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada benda mati. Majas  personifikasi ini terdapat pada baris ketiga yaitu “malam mendengkur bulan membeku”. Dan majas hiperbola yang mengandung arti pengungkapan yang berlebihan (melebih-lebihkan) kenyataan,sehingga kenyataan tersebut tidak masuk akal. Sebagai contohnya pada kalimat “aku dan seluruh dirikutercekat dalam lubang hitam”. Simile merupakan gaya bahasa yang mengandung pengertian,pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung. Seperti,layaknya,bagaikan,umpama,ibarat,bak,bagai. Pada puisi “Tercekik” initerdapat majas simile pada baris ke enam “haribaan-Mu seperti lautan pesona” karena pada kalimat ini terdapat kata “seperti” yang berfungsi sebagai penghubung. Membelam,pekat,tercekat,tercekik juga merupakan gaya bahasa klimaks,yang mempunyai pengertian dari kata yang biasa-biasa saja sampai pada kata yang memberikan penekanan-penekanan yang membuat puisinya bernilai lebih.
                Rima merupakan salah satu dari unsur-unsur yang terdapat pada puisi. Rima juga turut mewarnai setiap setiap kata pada puisi “Tercekik” ini di antaranya, rima mutlak,rima tertutup,rima aliterasi,rima serupa,dan rima sempurna. Pada puisi “Tercekik” ini terdapat rima mutlak ayarat suku katanya sama atau kata-katanya sam persis, seperti pada kata “dalam” baris pertama dan kedua. Awal kata yang berhuruf sama merupakan syarat dari rima aliterasi, yang terdapat pada kalimat  mencengkeram,memikat,mendera,menderu, pada kalimat tersebut huruf yang sama pada setiap kata yaitu huruf “m”. Rima serupa merupakan rima yang jumlah hurufnya sama, namun ada satu huruf yang berbeda,Seperti pada kata mendera dan menderu. Yaitu pada huruf akhirnya yang berbeda huruf “a” dan “u”. Rima sempurna juga terdapat pada kata dalam dan malam. Karena rima sempurna mempunyai syarat kata yang suku kata terkhirnya sama persis yaiutu kata dalam dan malam,yang memenuhi syarat adalah suku kata lam pada kata tersebut. Dan pada kata-kata di atas seperti malam,dalam,dan merupakan rima tertutup karena pada huruf akhirnya merupakan huruf mati.
                Semua gambaran gaya bahasa dan rima di atas merupakan unsur-unsur puisi yang harus ada pada puisi. Selain salah satu unsur-unsurnya, gaya bahasa dan rima juga memberi nilai keindahan yang membuat pembacanya menjadi terkesan

ESAI "analisis puisi tercekik"



TERCEKIK
Dalam puisi “Tercekik” karya Agus Harianto ini sangat menakjubkan. Karena dalam puisi ini banyak sekali gaya bahasa dan rima. Puisi ini juga sulit dimengerti dan diketahui maknanya. Dan dalam puisi ini Agus harianto memunculkan gaya bahasa di antaranya,anafora yang artinya majas yang mengulang kata disetiap baris yang sama dalam setiap satu bait,seperti contohnya pada puisi “Tercekik” ini terdapat majas anafora pada kata kata pertama “dalam”. Tidak hanya itu masih ada lagi majas yang lain yang turut memberi warna keindahan pada puisi “tercekik” ini yaitu,majas personifikasi dan hiperbola. Majas personifikasi yang artinya majas yang memberi pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada benda mati. Majas  personifikasi ini terdapat pada baris ketiga yaitu “malam mendengkur bulan membeku”. Dan majas hiperbola yang mengandung arti pengungkapan yang berlebihan (melebih-lebihkan) kenyataan,sehingga kenyataan tersebut tidak masuk akal. Sebagai contohnya pada kalimat “aku dan seluruh dirikutercekat dalam lubang hitam”. Simile merupakan gaya bahasa yang mengandung pengertian,pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung. Seperti,layaknya,bagaikan,umpama,ibarat,bak,bagai. Pada puisi “Tercekik” initerdapat majas simile pada baris ke enam “haribaan-Mu seperti lautan pesona” karena pada kalimat ini terdapat kata “seperti” yang berfungsi sebagai penghubung. Membelam,pekat,tercekat,tercekik juga merupakan gaya bahasa klimaks,yang mempunyai pengertian dari kata yang biasa-biasa saja sampai pada kata yang memberikan penekanan-penekanan yang membuat puisinya bernilai lebih.
                Rima merupakan salah satu dari unsur-unsur yang terdapat pada puisi. Rima juga turut mewarnai setiap setiap kata pada puisi “Tercekik” ini di antaranya, rima mutlak,rima tertutup,rima aliterasi,rima serupa,dan rima sempurna. Pada puisi “Tercekik” ini terdapat rima mutlak ayarat suku katanya sama atau kata-katanya sam persis, seperti pada kata “dalam” baris pertama dan kedua. Awal kata yang berhuruf sama merupakan syarat dari rima aliterasi, yang terdapat pada kalimat  mencengkeram,memikat,mendera,menderu, pada kalimat tersebut huruf yang sama pada setiap kata yaitu huruf “m”. Rima serupa merupakan rima yang jumlah hurufnya sama, namun ada satu huruf yang berbeda,Seperti pada kata mendera dan menderu. Yaitu pada huruf akhirnya yang berbeda huruf “a” dan “u”. Rima sempurna juga terdapat pada kata dalam dan malam. Karena rima sempurna mempunyai syarat kata yang suku kata terkhirnya sama persis yaiutu kata dalam dan malam,yang memenuhi syarat adalah suku kata lam pada kata tersebut. Dan pada kata-kata di atas seperti malam,dalam,dan merupakan rima tertutup karena pada huruf akhirnya merupakan huruf mati.
                Semua gambaran gaya bahasa dan rima di atas merupakan unsur-unsur puisi yang harus ada pada puisi. Selain salah satu unsur-unsurnya, gaya bahasa dan rima juga memberi nilai keindahan yang membuat pembacanya menjadi terkesan

PENULIS TROTOAR

Analisis Penyimpangan Bahasa pada Puisi

Analisis Penyimpangan Bahasa dalam Puisi “Sajak Rumah dan Sesuatu yang hampa, Sesuatu yang diam, Tersisa” Karya sastra pada das...