Perempuan yang kehilangan: Payudara
Sekuat
apalagi aku harus menebas cakrawala, memilih diksi dan narasi pada jangkah luka
yang tak mampu sirna. Jika cinta, mengapa mengabaikan ruang yang berjasa memberi waktu untuk berdua. Sepotong
puisiku yang tiba-tiba menjelma rindu, aku baca ini karena aku rindu, aku rindu
karena diluar jendela sedang gerimis ritmis melongok aku mengenang bekas
sepatumu dan keciprat air yang sendu.
Kenanganku terhenti melihat seorang
perempuan duduk sendirian di taman dekat apartemen yang aku hidupi.
Pandangannya kosong, melamun melihat burung merpati yang berteduh dirindangnya
pepohonan. Sungguh berbanding terbalik dari kenanganku dulu, aku dulu bermain
hujan bersama kekasih, sungguh hal yang memalukan untuk diceritakan kalau
akhirnya sekarang aku sendiri. Hmm, sudahlah aku ingin menceritakan apa yang
sedang aku lihat sekarang tentang perempuan itu. Perempuan itu menaruh sejuta
pertanyaan dikepalaku, aku benar-benar gemas melihat seorang perempuan yang bersedih
hati, tak bergairah melawan kerasnya dunya
seperti aku ini. Perempuan itu, apa dia tidak belajar ilmu filsafat? Apa dia
tidak membaca puisi-puisi yang berserakan untuk menumbuhkan semangat? Apa dia
tidak belajar perihal feminisme? Perilakunya sungguh menggambarkan tentangku di
masa sepuluh tahun yang lalu.
***
Malam ini aku ingin keluar semalaman
menikmati kopi trotoar sembari menyelesaikan puisi-puisiku yang sudah ditagih
penerbit seminggu yang lalu. Aku tidak sendirian, aku ditemani seorang perempuan
yang bernama Bella. Aku harus menjemputnya dulu, kalau tidak begitu pasti dia nesu, kawanku yang satu ini memang
begitu. Dia penulis juga tulisannya sangat kontroversial, dia banyak menghakimi
manusia lewat tulisannya, jangankan manusia Tuhan pun dipertanyakan olehnya,
dia memang begitu. Aku rasa dia begitu karena, radar otak dan hatinya sudah
terlalu jauh dan mungkin juga sempat terhakimi oleh dunia sampai-sampai
sekarang dia dewasa menjadi seorang perempuan yang nyeleneh.
“Pak Kopi item dua” jerit Bella
“Udah itu aja neng??” timpal pak Jo.
“ Iya pak, nanti dah nambah lagi
hahaha pacar saya lagi badmood”
Kopi trotoar adalah tempat njaggong favorit kami. Penjualnya
bernama pak Jo, dia baik sekali kadang-kadang saat aku ndak punya uang, dia membolehkan kami ngutang katanya aku dan Bella mirip dua anak gadisnya yang dibawa
lari sopir trek yang sampai sekarang ndak kembali. Kasihan sekali pak Jo ini,
Istrinya setahun lalu meninggal karena menahan sakit hati kehilangan anak gadisnya,
bahkan seluruh hartanya habis untuk mencari anak gadisnya itu. Dan pak Jo yang
sebatangkara ini memilih berjualan kopi dan gorengan dipinggir jalan, sambil
berharap anak gadisnya itu lewat dan mengingat bapaknya yang sudah lama menahan
rindu.“Hatiku cuma ada satu sudah untuk
mencintaimu, tolong jangan sakiti lagi nanti aku bisa mati. . .” goda Bella
terhadapku. “Ishhhh. . . inget ini
tempat umum Bee. Nanti mereka mikir aneh-aneh tentang kita, wess... ndang cari cowok sana biar ndak nggodain aku trusss...” kata ku.
“Halaaahhh aku maunya sama kamu, aku nggak doyan cowok”, “Terus..... kamu doyan cewek ? Heh..”,
kemudian kami tertawa terbahak-bahak.
Malam ini berkabut, aku berdoa agar
tidak hujan saja kasian pak Jo. Waktu sudah menunjukan pukul 00:15 malam. Bella
sudah mulai ngglendot dipundakku,
kami memang begini seperti orang yang kasmaran, entahlah. . .
***
Alkoholik!: Sebuah
episode kita
Aku
hanya sedikit tidak berani mengeksplorasi tubuhku.
Tentang:
; persetubuhan yang melahirkan
diksi-diksi indah.
; yang diam-diam kami saling
bercumbu dikala malam.
; yang pagi hari kami saling
bergelut selimut demi sebuah prosa.
Tidak
ada yang tau kecuali puisi-puisiku.
Tidak
ada yang tau kecuali gagang pintu apartemen ku berbicara.
Tidak
ada yang tau kecuali ranjangku bersuara.
...
Sepotong puisi yang aku ciptakan semalam.
Teriknya sang surya menyerobot memaksa masuk dan
membangunkanku, aku bangun membuka jendela tempat favoritku bercengkerama
dengan alam. “ Ahhhh... tutup jendelanya panassss,, aku masih ngantuk” Bella
mengomel padaku, aku biarkan dia... aku terus saja berjalan ke dapur untuk
menyeduh sepasang kopi. Setelah itu seperti biasa, aku menikmatinya di jendela
sembari menatap keluar, melihat-lihat kenyataan apalagi yang akan diberi Tuhan.
Biasanya aku berkata “Tuhan kenyataaan apalagi yang akan kau perlihatkan padaku??”
Aku melihat perempuan itu lagi, sudah beberapa hari ini
aku melihat dia termenung di sana. Aku semakin penasaran apa yang dia tunggu di
taman itu, apa dia juga penulis yang suka melakukan hal nyeleneh sepertiku. Aku menengok Bella yang masih nyenyak dan malah
menyelimuti tubuhnya, aku biarkan dia kemudian aku keluar untuk membeli
keperluan dapur yang sudah habis, daripada nanti Bella mengomel karena bangun
tidur kelaparan.
***
Hari ini aku tidak ingin keluar rumah, aku ingin
menulis di kamar saja. Bella juga tidak mau pulang kerumahnya, dia memang
begitu lebih suka bersamaku dan menghabiskan waktu berdua. Tapi dia sering
membuat aku marah, dia suka sekali menggangguku saat aku sedang mengaksarakan
puisiku, seperti saat ini dia menciumi pipiku terus-menerus sampai aku
benar-benar merasa geli. “Bee... sudah ahh! Aku mau menyelesaikan ini dulu”
karena aku kegemasan aku cium bibirnya bertubi-tubi, kemudian kami tertawa
terbahak-bahak bersama.
Cepat sekali, sekarang sudah malam. Antologi puisiku
belum juga usai. Bella juga sedang serius menyelesaikan cerpennya, katanya
tentangku dan dia. Katanya bella itu cerpen kontroversial, jadi yang membaca
pertama harus aku. Aku menyeruput kopiku yang ke tiga, aku sudah menghabiskan 3
cangkir kopi. Aishhhh... betapa aku mencintai kopi itu. Seketika aku kaget,
perempuan itu sekarang tidak hanya sendiri, dia berdua dengan seorang perempuan
juga. Tidak terlalu jelas raut mukanya karena ini malam. Sepertinya mereka
sedang bercengkerama, aku menikmati gerik tubuhnya seakan kupingku tau apa yang
sedang mereka bicarakan. “kamu ngeliat apa sih?” tanya Bella. “hmm, bukan
apa-apa.” Kemudian, Bella mendekat dan mencium pipiku kemudian ikut memandangi
dua perempuan di taman itu. “Sepertinya aku mengenal mereka,” kata Bella. Aku kaget
dan sontak menceritakan perilaku aneh perempuan yang berbaju merah itu,
beberapa hari yang lalu. Kemudian Bella menceritakan tentang mereka: “ Mereka
berdua adalah sepasang kekasih. Itu perempuan yang berbaju putih bernama Anya,
dia kakak tingkat dikampusku, aku mengenalnya tapi tidak terlalu dekat. Aku
rasa yang seperti katamu tadi, mereka sedang bertengkar soalnya yang berbaju
putih itu kabarnya sedang dekat dengan seorang laki-laki. Mungkin dia cemburu.”
Jelas Bella.
Aku dan Bella
saling berebut menyeruput kopi, dia memang suka begitu malas membuat kopi, tapi
menyeruput milikku. Katanya, agar lebih mesra. Kita masih memandang keluar
jendela, kami seakan-akan menyimak percakapan mereka, menikmati geriknya
bagaikan sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Kami berdua terkejut di saat
Anya menarik tubuh perempuan itu kemudian merangkulnya dan mencumbuinya tak
henti-henti.
Suasana kamarku
seketika menjadi kikuk.
***
Pagi masih menyisakan kantuknya. Aku
terbangun seperti biasa, karena terik surya yang memaksa masuk ke kamarku. Aku
terkejut, tak seperti biasanya perempuan kawan tidurku ini sudah bangun duluan,
tapi ia tak beranjak dari ranjang. Ia memiringkan tubuhnya sembari menatapku
yang baru mengutuhkan nyawa dari sisa kantuk semalam. “Pagi sayangku” kemudian,
tiba-tiba saja ia mencumbui ku tanpa ampun. “Bella, aku masih mengantuk,
ughhhhhh.....” dia malah memelukku dan mencium bibirku tanpa ampun, seperti
orang yang sedang kasmaran saja, rasanya ndak adil kalau aku tak membalasnya. Kemudian,
kami saling bergelut di dalam selimut sembari tertawa terbahak-bahak.
Perempuan Yang
Kehilangan: Payudara
Kekasih, setiap waktu bibirku ada pada
rerasamu,
yang aku rindukan dan aku jadi kecanduan,
pada bekas terakhir selalu aku seruput
sisa rindu akibat perasaan candu.
Dekapan yang menyetubuhi waktu tak
berasa, karena aku hampa jika tak berpena
Terbahak dingklik memandangi asyiknya
kita berdebat dibalik selimut hangat.
Tergelitik pandangan jendela akan rahasia rasi gemintangnya
Tentang sepasang perempuan yang tak
bernalar.
Tentang sepasang perempuan yang mengadu hati
Untuk: digandrungi.
Kami masih tetap perempuan,
Yang juga bisa menebar rindu,
Yang juga bisa membakar sesak dihati,
Kami sepasang kekasih yang juga masih:
perempuan.