Oleh:
Marisca Irgi Laochong,. S.S
Kertas-kertas
berhamburan menyusun melodi elegi untuk tubuh yang mengugu pilu. Dunga-dunga
bertebaran menyambut wewangian dupa cendana sejak kala itu. Megatruh sabancandikkala
terdengar syahdu, entahlah antahberantah mana yang mengirimkan suara itu.
Aku
bukan orang yang gampang mengerti bahasa isyarat apalagi yang mengandung makna
filosofis yang berat-berat. Aku cuma penulis trotoar berkawan alam dan masa
lalu tidak masa depan. Bagiku masa depan adalah musuh yang paling kejam yang
harus segera diperangi olehku, masa depan tidak boleh diam-diam menikamku.
Sudahlah aku malas bercerita tentang itu...
***
...
Watu
kutho
Alkisah
bumantara,
Resi:
dunya telah berlalu,
Beribu
purnama, angan membentuk swara yang tak terindera,
Bersisa
jejak yang tak berupa,
Bersisa
aksara yang tumurun menjadi tanya (?)
Potongan
puisiku yang aku tulis semalam di beranda rumah. Bebarengan dengan swara-swara
itu, yang aku namai bisikan. Aku benar-benar merasa kupingku sudah gila,
mendengar yang tak bersuara. Aku tidak punya kawan untuk bercerita tentang
apapun, aku hanya punya pena dan lembaran kertas untuk menulis. Tapi jangan
memikirkan bahwa aku ini adalah penulis yang terkenal, aku hanya penulis
trotoar yang selalu ditolak penerbit. Maka, aku tetap menulis!
Aku
berbicara begini, tiba-tiba wewangian itu datang lagi. Aku mencoba tidak
menghiraukan itu, tapi serasa pundak dan tengkukku dihantam sekeras-kerasnya.
Siapa dia? Aku memang perempuan jawa dan lahir di dunia mantra, tapi aku tidak
benar-benar mempercayai itu, jika indera yang kusebut mata tidak benar-benar merasa.
Semakin aku memungkirinya bukan hanya wewangian itu yang datang tapi
swara-swara itu seperti nyata ada didekat kupingku. Aku berusaha tidak
menghiraukannya, aku tidak peduli aku tetap meneruskan menulis puisiku yang
berjudul “Purbawasesa Mangkurat Ing
Tengger”. Baru kali ini aku menulis puisi dengan suasana yang menakutkan,
apa dia mencoba meyakinkan sebuah eksistensi akan dirinya...
***
Swara
itu menuntun tanganku untuk menulis...
Belum
lupa pada ingatan, gemuruh swara yang berbayang angan, siapa?
Balada
diantarkan sang bayu, di mana aku tumbuh untuk kelana.
Memahami masalalu; kembali berkawan;
bercengkrama;
menjelang hujan memayungi semesta.
Kereta kencana melaju, menabuh waktu;
kala itu segala penjuru waktu mengguguh
napas yang penuh.
Patih-patih berkain putih turut ucap
jumpa kepada dimensi yang berbeda,
Meninggalkan bekas silih raga yang tak
jua kembali sempurna,
menyentuh tubuh-tubuh yang tertali
selendang suci.
Semua terjadi secara
tiba-tiba, entahlah. Aku benar-benar bingung, apa ini? aku rasa ini bukan
sekedar imajinasi belaka? Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening. Aku buang
kertas-kertasku, aku hamburkan segala yang ada dipikiranku. Tiba-tiba saja
selendang kuning berterbangan diatas ku, penuh cahaya yang membuat kepalaku
sangat pening. Baru kali ini aku menulis dan dihantui dengan hal-hal aneh
seperti itu, untuk menyelesaikan satu puisi saja aku butuh waktu dan kekuatan
hati yang lebih. Ada bagian dipuisiku yang benar-benar membuatku ingin menyerah
saja dan aku benci puisi.
Berhari-hari aku tidak menulis, tapi
ingatanku masih tetap setia untuk mengetiknya. Sebenarnya aku marah, tapi aku
tak kuasa untuk membenci puisi-puisiku. Ingin sebenarnya aku ceritakan kepada
penerbit agar bisa menjelma kitab yang kunamai kitab silih raga. Tapi aku
benar-benar buntu. Berhari-hari aku dihantui itu! Aku tidak bisa menyebutnya
hantu. Karena aku tau dia tidak suka disebut seperti itu.
Tiba-tiba saja saat aku menulis ini
bulu kuduk ku menunjukan eksistensinya.
***
Nilas tapak tanpa wujud
Nilas aksara kang tumurun dos
pitaken (?)
Selaka kersa setanggi ladan cendana,
Ngetut
sukma benten donya,
Nyawur endah saking benten jagad,
Nggantung pitaken,
Babakan
lelakon kang ngungel tan kepireng,
Kang
dumugi ambekta ganda minangka pratanda
Giri
brahma, nyinggahe yutan pitaken (?)
Semua
masih dalam batas tanya dikeningku? Tentang siapa kau? Dan apa benar kau adalah
sebab dari kejadian silih raga kala itu. Aku bingung menyebutmu apa tapi memang
benar kenyataan terjadi juga sebab masa lalu yang ada. Aku percaya tentang
keberadaanmu, jika yang lain tidak sepaham denganku, aku tetap percaya.
Eksistensimu aku kekalkan pada mahakaryaku yang nantinya akan dibaca berjuta
manungsa bumantara. Mungkin lain waktu kita bisa saling bercengkrama, saling
carita tentang dimensi yang berbeda sekalipun detik masih bertanya akan rupa
yang selalu berbisik masa candikkala menampakan wujudnya.