Inspiring
Woman: Perempuan Tangguh!
Oleh:
Marisca Irgi Laochong
sumber: Gambar
“Semakin lama waktu yang diberi Tuhan untuk
saya hidup di dunia ini, saya semakin memahami jika perkara kehidupan itu bukan
perkara siapa yang bisa terlebih dahulu memulai, tetapi perkara siapa yang
mampu bertahan lebih lama”.
Bukan
saatnya untuk berdiam diri, menekuk lutut untuk menangisi sebuah kenyataan
hidup. Terutama bagi seorang perempuan, jika engkau sempat menyerah kepada
kenyataan: menyerahlah! Menyerahlah lima menit kemudian berdirilah, bangkit dan
katakan pada dirimu sendiri jika kau sekarang lebih kuat untuk bertahan
dikehidupan ini. Semua harus dilalui, semua harus dilakukan, boleh menyerah
tetapi jangan lama-lama. Waktu tidak pernah menunggu kita, disaat kita lalai,
lemah dan menyerah.
Saya
bukan seseorang yang selalu bersemangat dan menggebu-gebu. Saya seringkali
menyerah terhadap permasalahan yang saya alami, sampai keajaiban Tuhan lah yang
membuktikan sendiri kepada saya. Setiap malam saya selalu bercakap dengan
Tuhan, melalui doa-doa dan puisi-puisi pada selembaran kertas di samping tempat
tidur. Seringkali saya membicarakan, tentang hari yang telah saya lewati. Banyak
sekali kejutan dikehidupan ini, sebagai seseorang yang mudah menyerah saya sering
ketakutan akan hal itu. Bagaimana hari
esok? Apa yang akan terjadi? sehingga sindrom pesimisme menghantui setiap
malam.
“Saya
ingin sekali berhenti dan menyerah menghadapi masa lalu yang buruk sampai
berdampak kepada saya hari ini, mungkin juga esok masih akan berlanjut. Saya
ingin berhenti, tetapi bagaimana orang tua saya? Saya menyerah”.
Pikiran-pikiran buruk adalah hal buruk
yang harus cepat dibunuh. Sebagai seseorang yang pernah mengalami hal tersebut,
saya ingin orang lain bisa lebih hebat dalam melalui masa-masa sulit tersebut.
Seringlah berdiam diri, merenungi setiap nafas selama ini, jadilah pribadi yang
lebih kuat dan bertahanlah di masa seperti itu. Itu adalah jalan Tuhan untuk
sebuah pencapaian yang luar biasa. Bertahan adalah hal tersulit dihidup ini,
jika seseorang berkata: Ubahlah cara
hidupmu! Berubahlah! Ubahlah cara berpikirmu! Itu memang benar, tidak ada
yang salah akan hal tersebut, tetapi coba maknai lagi perkataan itu. Bagaimana
kita bisa berubah, jika untuk masalah makan saja kita masih bergantung kepada
orang tua. Bagaimana kita bisa mengubah cara hidup, jika yang mengajarkan kita
hidup adalah lingkungan kita yang notabene tidak bisa direncakan itu akan
berdampak baik atau malah mengelabuhi kebaikan kita. Saya rasa yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah bertahan, bertahanlah dan menjadi pribadi yang
baik, jangan hidup jika bisanya menuruti apa kata orang, dan kemauan orang
apalagi jika itu menentang hati.
“Sebenarnya
saya tidak perlu berbicara bermuluk-muluk. Terakhir kali saya benar-benar
menyesali apa yang saya lakukan yaitu waktu saya membuat Ibu saya menangis
untuk saya. Saya benar-benar menyesal karena membentaknya”.
Saat melihat air matanya, dan sedihnya
saat menceritakan perjuangan di masa lalu. Saya benar-benar merasa menjadi
perempuan tak tau diri. Perempuan macam apa saya! Penyesalan itu masih ada
sampai hari ini, dan berusaha saya benahi setiap detik. Saya lupa jika saya
adalah salah satu perempuan yang beruntung, selalu menjadi tempat curahan hati
orang-orang yang berada di dekat saya, karena itulah saya tidak perlu melakukan
kesalahan yang sama yang pernah diperbuat orang-orang sekitar saya. Meskipun
semuanya bisa dikatakan sedikit terlambat, tetapi perubahan menjadi lebih baik
itu perlu dilakukan. Jika masih sulit menjadi baik setidaknya kita jujur untuk
diri kita sendiri.
“Jika
ada pengelompokan manusia angkuh di dunia ini, mungkin saya salah satunya!”
Keberuntungan saya bertambah lagi,
karena saya memiliki kawan yang mampu mengetuk hati saya dengan begitu keras,
apalagi sewaktu saya menjadi angkuh untuk kenyataan yang harus dihadapi. Dia
juga seorang perempuan tangguh, sudah bisa menghidupi dirinya, orang tuanya,
bahkan adik-adiknya bagi saya hal seperti itu adalah hal yang sangat luar biasa
dibanding perlakuan saya yang sering tidak memanusiakan manusia. Mengapa saya
menyebutnya keberuntungan? Sebab dia selalu memarahi saya, menjadi cermin untuk
sikap saya dan itu semua menjadikan saya merasa sangat berdosa kepada Tuhan
yang telah memberi banyak kesempatan untuk bahagia di dunia.
Perempuan itu bernama Nuu. Dia sudah
seperti kakak dan Ibu kedua ku saat aku melancong mencari ilmu. Kita sekelas,
tetapi dia tidak semulus aku yang bisa mondar mandir masuk kelas dan mengikuti
kuliah semestinya. Seringkali jadwal kerja bentrok dengan kuliah, dan
tugas-tugas yang terbengkalai karena tidak adanya waktu untuk menyelesaikan.
Selain itu, kata menyerah dan ingin berhenti kuliah sudah menjadi hal yang
biasa diantara kami, tetapi itu hanya sebagai ungkapan lelah, dan itu sudah
berlalu 7 semester yang lalu, kami selalu menerapkan kata bertahan. Karena cara kita bertahan itu yang menopang pondasi masa
depan maka waktupun membayar pesakitannya dengan cara memberi kita banyak
sekali keberuntungan yang seharusnya kita syukuri sebelum menyesal.
“Sebenarnya
cerita itu tidak se-sederhana yang saya ceritakan, sengaja aku buat seperti itu
agar pembaca dapat berpikir, jika hidup yang dialami itu tidak mudah jika harus
dituliskan seperti ini. Sekalipun sering kita dengar ‘dunia itu sangat kejam’,
percayalah menulis tentang kekejaman dunia kepada kita itu juga tidak mudah
dilakukan”.
Semoga sekarang semua menyesali
kebodohannya di masa silam. Seperti saya yang terus berusaha bertahan menjadi
seseorang yang baik dan tabah untuk
tidak menyerah. Sekali lagi, hidup itu lebih rumit dari sebuah paragraf yang
terikat. Terlebih, setiap manusia mempunyai cara tersendiri untuk menyikapi hidup ini. Yang
sempat menyentuh hatiku dan membuat saya menjadi sangat geram di saat kawan
saya, harus menjual harga dirinya demi kebahagiaan orang tuanya. Di situlah
saya mulai berpikir, dunia begitu
kejamkah? Atau takut untuk menghadapi
hari esok?
Jika berbicara dengan sudut pandang
agama, sudah bisa dipastikan itu menyalahi aturannya. Tetapi jika harus
dimaknai dengan segala keberserahan kita kepada hidup, haruskah hal seperti itu dilakukan? Mungkinkah menghamba kepada uang
dengan segala ketakutan? Seperti ingin menyalahkan tetapi tidak bisa
memberi solusi untuk kehidupannya. Sempat aku mengingatkan tentang perilakunya,
tetapi ia menjawab ‘Aku siap untuk penebusan dosaku kelak, ketimbang aku harus
melihat orang tuaku kelaparan dan tak bisa berobat untuk sakitnya, aku siap
untuk itu! Yang penting aku sudah berusaha untuk bersikap baik kepada
sekitarku. Sekarang aku bertanya, apa sekitarku pernah bertanya hari ini aku
sudah makan apa belum? Apa mereka pernah bertanya jika orang tuaku baik-baik
saja!’
“Perempuan
seperti itu, apa bisa digolongakan menjadi perempuan tangguh?”
Saya benar-benar diam, disaat saya harus
memposisikan diri saya menjadi dia, bahkan saya harus memposisikan menjadi
seorang anak yang lahir darinya dan harus tabah menerima masalalu Ibunya. Semua
begitu sulit saat seseorang menilai orang lainnya berdasarkan kesalihan,
penolakan masih sering terjadi terhadap perilaku bahkan masa lalu orang lain.
Tetapi, pantaskah! Bisahkah, seorang anak menolak masa lalu Ibunya? Begitu
sulit kenyataan yang harus dijalani anak tersebut.
“Haruskah
ia menyalahkan Tuhan, sebagai anak yang harus menanggung dosa Ibunya? Atau
memang sudah kewajiban seorang anak menanggung dosa Ibunya? Sampai sekarang
saya masih belum bisa menyikapi hal tersebut, saya hanya meminta jangan menjadi
buruk karena masa lalu Ibumu, jangan mempercayai pepatah jika ‘buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya’ semua masih bisa diperjuangkan. Jangan menjadi lemah dan
mudah menyerah apalagi kamu seorang perempuan! Perjuangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar